Indeks

Melawan Debu Keputusasaan: Konvoi “Hukum Berhati Nurani” YLBH Sarana Keadilan Rakyat Rayakan Senyum di Tengah Puing Semeru

LUMAJANG | KABARPRESISI – Di tengah lanskap yang masih diselimuti kabut vulkanik dan nestapa pasca-amuk Semeru, sebentuk harapan bergerak perlahan. Bukan dari suara mesin berat, melainkan dari konvoi sederhana tiga mobil yang meninggalkan markas YLBH Sarana Keadilan Rakyat pada Selasa malam (23/12/2024).

Muatannya bukan dokumen hukum, melainkan paket-paket nyawa: obat-obatan, selimut, sembako, dan popok bayi sebuah jawaban konkret atas teriakan diam ribuan korban yang kehilangan tempat bernaung.

Pengiriman bantuan mendesak ini adalah bagian dari program tanggap darurat bencana organisasi tersebut, sebuah langkah yang mengubah advokasi di ruang sidang menjadi solidaritas di lapangan bencana.

Rombongan yang berangkat pagi itu dilepas dengan mata berkaca-kaca oleh para pengurus, termasuk koordinator wilayah, Korlap Purwodadi dan Korlap Tutur, serta bendahara pusat , mengukir sebuah gambar persatuan di tengah krisis.

Khoirul Huda Ketua YLBH Sarana Keadilan Rakyat, dengan suara bergetar penuh keyakinan, menegaskan bahwa tugas lembaganya melampaui pembelaan di pengadilan.

“Di sini, di tanah yang terluka ini, keadilan bukan hanya tentang pasal. Keadilan adalah tentang keberpihakan nyata. Hukum harus turun gunung, berjalan beriringan dengan empati dan mengulurkan tangan,” serunya, sambil menatap konvoi yang siap membawa secercah cahaya ke jantung kegelapan.

Hery Siswanto, Pembina YLBH, menambahkan dengan nada haru, “Mungkin ini hanya setetes air di tengah dahaga yang maha luas. Tapi, setiap selimut yang hangat, setiap bungkus makanan, dan setiap popok yang bersih, adalah pengingat bahwa mereka tidak sendirian. Semoga bantuan sederhana ini bisa menjadi penyangga jiwa, sebelum kita bersama-sama membangun kembali.” Pesannya jelas: ini bukan tentang besarnya bantuan, melainkan tentang konsistensi hati untuk merangkul.

Dengan langkah pasti meski di jalur yang masih berbahaya, konvoi kemanusiaan itu pun melanjutkan perjalanan, menghilang di balik tikungan jalan yang masih disapu abu.

Perjalanan mereka bukan lagi sekadar pengiriman logistik, melainkan sebuah kafilah harapan yang membawa pesan teguh: di atas puing dan kepedihan, solidaritas adalah hukum yang paling utama.($@n)

Penulis: M.HasanEditor: M.Hasan