PASURUAN | KABARPRESISI – Polemik penutupan Warkop dan Karaoke Gempol9 yang digulirkan Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia (LMR-RI) memicu kontroversi di Pasuruan. Pertanyaannya, apakah ini murni persoalan moral atau sekadar balas dendam terselubung?
Ketua Umum LSM Gerakan Pemuda Pemudi Peduli Hukum (GP3H), Anjar Supriyanto, SH, mengecam keras langkah LMR-RI yang dinilai reaktif dan emosional. Menurutnya, tindakan itu berpotensi merusak tatanan hukum yang berlaku.
“Fakta hukumnya jelas: Gempol9 adalah kawasan ruko legal dengan izin usaha warkop karaoke. Selama tidak melanggar aturan, penilaian harus objektif,” tegas Anjar.
Ia mengungkap, tuntutan penutupan justru bermula dari keributan internal LMR-RI yang melibatkan anggotanya sendiri di lokasi tersebut. “Alih-alih introspeksi, mereka malah menuntut penutupan. Logikanya, kalau ada anggota berbuat salah, apakah tempat usahanya yang harus disalahkan?” sindir Anjar.
Anjar menegaskan, tidak ada ormas yang berwenang menutup usaha secara sepihak, apalagi dengan dalih moral yang tidak jelas dasar hukumnya. “Ini tindakan overacting. Kewenangan penutupan ada di tangan Satpol PP, Dinas Perizinan, dan Kepolisian, bukan LMR-RI yang sedang ‘baper’,” tegasnya.
Dukungan terhadap objektivitas hukum juga datang dari DPRD Kabupaten Pasuruan, yang membatalkan audiensi dengan LMR-RI karena ketidaklengkapan administrasi. “DPRD mengambil sikap tepat. Jangan sampai lembaga resmi tunduk pada tekanan yang dikemas sebagai ‘moralitas’,” tambah Anjar.
GP3H menyarankan, jika memang ada pelanggaran di Gempol9, laporkan ke instansi berwenang—bukan dijadikan alat balas dendam. “Kami dukung penegakan hukum, tapi harus melalui mekanisme yang sah. Jangan bungkus kepentingan pribadi dengan jargon moral,” tegas Anjar.
Anjar juga mengingatkan LMR-RI agar menyelesaikan konflik internal secara tertib. “Selesaikan masalah internal dulu, jangan jadi tontonan publik. Bikin gaduh bukan prestasi,” pungkasnya.($@n/mal/tim)












