JOMBANG | KABAR PRESISI – Di antara halaman Pondok Pesantren Tebuireng yang sarat dengan sejarah perjuangan bangsa, sebuah pemandangan lain yang tak kalah heroik terpampang. Bukan pidato atau diskusi, melainkan antrean panjang warga dari berbagai usia dari kakek yang tertatih hingga ibu dengan bayi digendong.
Mereka tidak sedang mengantre santunan, tetapi untuk mendapat pelayanan medis cuma-cuma. Di hari Rabu (17/12/2025) yang bertepatan dengan haul ke-16 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), warisan sang pluralis itu dihidupkan bukan dengan kata-kata, melainkan dengan stetoskop, sentuhan terapi, dan segenggam obat tradisional.
Lembaga Ketabiban PWPSNU Pagarnusa Jawa Timur telah mengubah duka kenangan menjadi aksi nyata. Di bawah komando Ki Ageng Purwo, Kepala Lembaga, mereka mendirikan “klinik darurat” di jantung keramaian haul.
“Ini bukan sekadar bakti sosial. Ini adalah napas Gus Dur yang kami hidupkan kembali. Semangatnya untuk menolong tanpa pandang bulu, kami wujudkan dalam setiap sentuhan pengobatan,” ujar Ki Ageng Purwo, suaranya lirih namun tegas di sela-sela kesibukannya memeriksa seorang warga lanjut usia.
Suasana haru dan semangat gotong royong terasa begitu kental. Anggota lembaga, yang terdiri dari dokter, perawat, dan ahli terapi tradisional Nahdliyyah, bekerja tanpa henti.
Mereka menangani ratusan pasien dengan beragam keluhan: pegal akibat kerja keras, gangguan pencernaan karena pola makan sederhana, hingga batuk yang tak kunjung reda. Setiap keluhan didengarkan dengan sabar, seolah waktu tak bergerak. Di sini, Gus Dur yang kerap disebut sebagai “dokter kemanusiaan” seakan hadir melalui tangan-tangan mereka.
Puncak dari drama kemanusiaan itu terjadi saat kegiatan memasuki tahap pembagian obat. Dengan penuh khidmat, 200 botol minyak kayu putih dan 300 kotak antangen (tolak angin) dibagikan kepada para jamaah dan warga yang hadir.
Botol dan kotak kecil itu bukan sekadar benda; mereka adalah simbol perlindungan, perhatian, dan keberlanjutan ajaran Gus Dur yang sangat sederhana: *menyantuni yang lemah*.
“Pembagian ini ikhtiar kecil kami agar semangat Gus Dur tak hanya dikenang, tetapi juga menjadi tameng sehari-hari bagi kesehatan masyarakat,” tambah Ki Ageng Purwo, sambil menyaksikan raut lega di wajah penerima bantuan.
Tanggapan dari masyarakat pun berubah dari sekadar apresiasi menjadi sebuah penghormatan mendalam. “Saya datang untuk ziarah rohani, tetapi justru dapat penawar untuk sakit fisik. Ini seperti Gus Dur sendiri yang masih peduli,” ucap Marni, seorang warga yang telah mengantre sejak pagi, sembari menyeka sudut matanya.
Pada akhirnya, di tengah gemuruh puji-pujian dan lantunan shalawat yang memenuhi langit Tebuireng, aksi Lembaga Ketabiban PWPSNU Pagarnusa Jawa Timur ini telah menorehkan cerita tersendiri.
Mereka membuktikan bahwa haul bukan hanya ritual mengingat, tetapi juga momentum untuk melanjutkan perjuangan.
Dan warisan terbesar Gus Dur, kemanusiaan yang inklusif dan penuh kasih, ternyata masih bisa dirasakan denyutnya, melalui layanan kesehatan yang diberikan dengan hati, untuk siapa saja, secara cuma-cuma.($@n)
